Sabtu, 09 April 2011

gtc rental csg: PERAN ULAMA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN CIAMIS

PERAN ULAMA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DI KABUPATEN CIAMIS

The Main Role of Ulemas' in Public Empowering of Ciamis Regency
YAT ROSPIA BRATA
170130070011
Program Pendidikan Doktor Program Studi Ilmu Sosial
Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi
Universitas Padjadjaran Bandung
E-MAIL : yatrospia@gmail.com
Secara filosofis bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh para ulama di Kabupaten Ciamis dapat dikategorikan ke dalam tiga hal, yakni;
1). Pemberdayaan dengan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling)
2). Pemberdayaan yang turut memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering)
3). Pemberdayaan guna membantu meningkatan taraf derajat pendidikan, kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi
Pemberdayaan guna menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), di antaranya dilakukan oleh  KH. Moch. Ma’sum Sirodj dari  pesantren “al Qur’an” Cijantung, KH. DR. Acep Fadilyani dari pesantren “Darussalam”, Dewasari Pamalayan, K.H. Asep Saefulmillah dari Pesantren Ar- Risalah, K.H. Moch. Syarif dari pesantren “Al Hasan” Ciamis, Ajengan Muhamad Mustopa dari pesantren “Riyadul Muta’alimin” Gegempalan Cikoneng, dan Ustad Ali Maksum dari Pondok Pesantren “Miftahul Huda 357” Blok Rengrang Bojongmengger Cijeungjing.
Kegiatan yang dilakukan melalui aktivitas dalam kelembagaan lokal  telah ditampilkan oleh Ustad Ali Maksum dan KH. Muhamad Mustopa, sedangkan kelembagaan regional dan nasional ditampilkan oleh KH. Moch. Ma’sum Sirodj, KH. Asep Saefulmillah, KH Moch. Syarif, dan KH. Dr. Acep Fadilyani.
Kelembagaan lokal dimaksud adalah kelembagaan melalui Pemerintahan Desa, yakni ulama tersebut include sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD). Melalui kelembagaan ini Ustad Ali Maksum dan KH. Muhammad Mustopa senantiasa menjadi inisiator sekaligus legitimizer bagi kebijakan-kebijakan di desa setempat, terutama melalui mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Desa merupakan titik tolak bagi seluruh program formal pemerintah, dalam arti kegiatan ini memegang peranan kunci untuk program desa hingga kabupaten dalam satu tahun ke depan. Dalam Musrenbang dibicarakan Program Desa yang akan dibawa ke kabupaten dan akan dikerjakan secara swa-kelola, termasuk dibicarakan mengenai kegiatan pemberdayaan di dalamnya.
Faktanya dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa, pendapat para ulama tersebut masih selalu didengar oleh masyarakat. Kondisi ini didukung informasi dari Pamong Desa Bojongmengger dan Desa Gegempalan yang menyatakan bahwa pendapat dari para ulama tentang kegiatan pembangunan dirasakan lebih menyentuh masyarakat.
Dalam konteks ini yang berbicara adalah ...
persoalan keimanan masyarakat terhadap agamanya. Ketika program pembangunan dibingkai oleh agama, maka kegiatan pembangunan seolah telah memperoleh legitimasi dari sisi religius, sehingga apa yang dilakukan merupakan bagian dari aspek ubudiyah, tidak hanya terkait dengan urusan duniawi belaka namun juga mampu berdampak ke wilayah ukhrawi.
Sementara itu untuk peran dalam kelembagaan regional, nasional, bahkan internasional,  senantiasa ditampilkan oleh KH. Ma’sum Sirodj, Drs. (Pesantren “al Qur’an” Cijantung), KH. Asep Saefulmillah, Drs., M.Ag. (Pesantren Ar-Risalah), Dr. KH. Acep Fadilyani dan Dr. KH. Icep Fadilyani (Pesantren “Darussalam” Dewasari), dengan membuka asksesibilitas dari pihak-pihak regional (propinsi), nasional (pusat), dan internasional (negara-negara di Jazirah Arab) untuk menjembatani penyaluran berbagai bantuan bagi pesantren maupun masyarakat. Kondisi ini tidak terlepas dari hubungan inter personal para pemimpin pesantren tersebut dengan para pemimpin regional, nasional, maupun internasional.
Dalam mencari dukungan finansial bagi para ulama pada level nasional ini tidak begitu sulit, apalagi dengan kekuatan jumlah ummat atau santri yang mencapai ribuan, maka eksistensi dan pengaruh pesantren ini tentu sangat menarik bagi para pemimpin politik maupun para pengambil kebijakan. Selain karena memiliki santri yang cukup banyak, mengalirnya program-program bantuan ke pesantren-pesantren tersebut juga berkaitan dengan trust dari pihak pemerintah, karena lembaga pesantren yang telah mempunyai ulama berkapasitas nasional atau internasional dianggap memiliki kredibilitas tinggi.
Hal-hal yang dilakukan para ulama bertaraf nasional maupun internasional, tentu akan sangat berbeda dengan para ulama yang masih bertaraf lokal. Bagi para ulama yang memiliki level nasional, selain melakukan pemberdayaan jenis pertama yakni mendorong potensi yang dapat dikembangkan masyarakat (enabling), dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya, juga melakukan pemberdayaan jenis kedua yakni memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).
Dalam rangka pemberdayaan tersebut langkah-langkah lebih positif yang dilakukan oleh para ulama ini selain menciptakan iklim dan suasana yang mendukung, maka dilakukan pula penguatan meliputi langkah-langkah nyata yang menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) dalam arti tidak hanya dalam bentuk penguatan moral, namun juga menembus sumber-sumber pembiayaan pemberdayaan, serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya.
Berbagai masukan (input) pemberdayaan saat ini yang banyak dimasuki para ulama menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar, adalah infrastruktur jalan dan sekolah-sekolah, sedangkan untuk fasilitas pelayanan kesehatan terutama bagi para santri dan masyarakat sekitarnya berupa Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) belum semua tersedia di setiap pondok pesantren. Jika dikaitkan dengan sumber pembiayaan, besarnya peluang untuk pemberdayaan masyarakat inheren dengan akses mereka terhadap sumber-sumber pembiayaan tersebut, semakin tinggi “jam terbang” seorang ulama, akan semakin besar akses terhadap sumber-sumber investor atau permodalan untuk pemberdayaan yang akan diperoleh.
Di samping itu pemberdayaan melalui jalur pendidikan untuk masyarakat di Kabupaten Ciamis, dibangun oleh beberapa ulama, di antaranya  oleh ulama dari Pesantren Darussalam, Pesantren Cijantung, Pesantren Gegempalan, Pesantren Bojongmengger, dan lain-lain. Lembaga pendidikan formal tersebut dibangun mulai dari tingkat TK (Raudatul Athfal) hingga SMA (Aliyah), bahkan untuk pesantren Darussalam telah memiliki jenjang Mahad Aly atau Perguruan Tinggi, yakni Institut Agama Islam Darussalam (IAID) yang telah membuka Program Diploma, Sarjana (S-1), dan Pascasarjana (S-2).
Pemberdayaan melalui pendidikan formal merupakan implementasi dari ayat-ayat mutasabihat (global) sehingga perlu elaborasi oleh para ulama, yakni dengan mencetak para ulama (kauniyah). Menurut KH. Asep Saefulmillah bahwa kandungan al Qur’an itu 70 % adalah masalah science, sehingga perlu pemecahan sebagai wujud penjabaran dari Al Umanna ur Rasul, sehingga harus dibuat fiqih-fiqih yang berkaitan dengan hal itu.
Pemberdayaan melalui peningkatan jenjang pendidikan formal tersebut diakui oleh semua ulama di Kabupaten Ciamis bahwa Almarhum KH. Irfan Hielmy (Pesantren Darussalam) yang dianggap sebagai leader dalam pembaharuan sekaligus perintis “twin program”, yakni penggabungan lembaga pesantren dengan lembaga pendidikan formal (Kholafiyah atau Kombinasi), sehingga ulama Pesantren Darussalam ini dianggap berhasil “mengawinkan” tradisi pendidikan dunia timur (pesantren) dengan pendidikan ala barat (sekolah formal).
Sesuai dengan ketentuan pemerintah, maka para ulama tersebut berusaha  mendirikan Yayasan penyelenggaraan pendidikan formal, namun secara umum terjadi kesamaan historis di antara mereka yakni menyelenggarakan pendidikan formal dahulu, kemudian baru mendirikan Yayasan sebagai syarat formal. Salah satu contoh adalah Yayasan “Al Fatah” yang didirikan oleh KH Ali Maksum, dimana beliau sebelumnya mendirikan sekolah umum terlebih dahulu baru mendirikan Yayasan “Al Fatah”. Saat ini Yayasan tersebut telah mampu menaungi berbagai jenjang pendidikan; PAUD, TK/RA, dan Aliyah (SMK Informatika dan Otomotif), dimana setiap jenjang dimasukkan unsur-unsur pendidikan Islam, misalnya untuk tingkat TK/RA dimasukkan pembelajaran membaca al Qur’an melalui metode IQRO, untuk tingkat Tsanawiyah (SMP) dimasukkan mata pelajaran Kitab Safinah, Jurumiyah, dan Tijan, untuk Tingkat Aliyah (SMK Informatika dan Otomotif) dimasukkan mata pelajaran Tauhid, Hadist, dan Fiqih.
Melalui kombinasi mata pelajaran yang dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal tersebut, pada gilirannya dapat menjadi daya tarik calon siswa dari luar pesantren, sehingga mereka juga secara tidak langsung dapat memperoleh ilmu agama. Metode ini menunjukkan cara yang cerdas dari para ulama dalam rangka memainkan jaman, artinya di tengah-tengah kondisi saat ini yang menuntut pendidikan formal, maka para ulama tetap fleksibel menyediakan lembaga pendidikan formal tanpa harus menghilangkan pendidikan agama, mereka membuktikan bahwa pendidikan duniawi bisa beriringan dengan pendidikan yang berorientasi ukhrawi.
Dengan cara seperti itu maka secara umum para santri di lembaga-lembaga pesantren dapat dikategorikan sebagai:
1)    Santri mukim sekaligus bersekolah formal (santri tahkoshush)
2)    Santri mukim namun tidak bersekolah formal
3)    Santri tidak mukim namun bersekolah formal
4)    Santri tidak mukim dan tidak bersekolah formal (santri kalong)
Pemberdayaan yang dilakukan ulama melalui pendidikan kombinasi (kholafiyah) untuk saat ini telah memperlihatkan keberhasilannya, hal itu nampak dari animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya serta banyaknya lembaga pendidikan yang menawarkan ”twin program”, yakni santri yang memiliki ijazah pendidikan formal sekaligus memiliki pengetahuan Islam yang baik. Selain pendidikan yang core-nya berbasis pesantren, ada pula yang menyelenggarakan pendidikan formal, tetapi menerapkan muatan lokal agama cukup banyak, sebagaimana dilakukan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah yang berbasis pendidikan formal. Lembaga tersebut cukup besar kontribusinya terhadap dunia pendidikan di Kabupaten Ciamis, mengingat layanan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah (sekolah negeri) secara kuantitas belum mampu memenuhi harapan.
Bentuk-bentuk pemberdayaan lainnya yang dilakukan para ulama di Kabupaten Ciamis, bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi termasuk juga pranata-pranatanya. Segala yang dilakukan oleh para ulama melalui berbagai aktifitas pengajian, maka ditanamkan pula nilai-nilai budaya yang biasanya di claim sebagai produk budaya modern, seperti halnya kerja keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab, yang juga merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan.
Menurut para ulama tersebut bahwa bekerja merupakan percikan daya cipta yang Maha Agung dari kemahakuasaan Allah SWT, sekalipun sering kali sifat bekerja manusia mengalami kesusahan, penuh pergulatan, atau bahkan kekecewaan, tetapi pada gilirannya akan menjadi sumber kepuasan dan kebahagiaan yang indah, yang terlindungi oleh naungan Allah SWT.
Dalam kaitanya dengan hal di atas, para ulama sering pula menyampaikan amanatnya kepada para musta’mi bahwa sejak awal, kehadiran Islam melalui al-Qur’an bukan hanya sekedar konsep ideal, melainkan juga sebagai amal praktis (workable) yang aktual dan membumi. Islam diyakini sebagai agama amal atau kerja, kondisi semacam ini akan nampak dari inti ajarannya dalam rangka mencari tujuan keridloan Allah SWT (mardlotillah) yang hanya dapat diperoleh melalui pemurnian atas keesaan-Nya (monotheism, tauhid) serta melalui kerja atau amal shalih.
Aktifitas kerja merupakan fitrah sekaligus sebagai salah satu identitas manusia, mengingat hanya dengan bekerja maka manusia dapat memanusiakan dirinya, sehingga ekuivalen dengan perasaan syukurnya kepada Sang Pencipta. Konsekuensi logisnya adalah, bahwa siapapun yang tidak bekerja maka hidupnya tidak produktif dan tidak bermakna, bahkan secara tidak langsung dapat dikategorikan sebagai kufur nikmat.
Menurut para ulama yang diwawancarai, manusia yang tidak mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, menandakan bahwa dia telah melawan fitrahnya sendiri. Sehingga menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia, yang kemudian jatuh dalam kedudukan yang hina seperti hewan (QS. Al-A’raf : 176).
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.

Ada kesamaan diantara para ulama ini dalam penyampaian pesan kepada para musta’mi berkaitan dengan masalah kerja, yakni bahwa  aktifitas kerja dalam pandangan al-Qur’an bertujuan untuk mencari fadhilah karunia Allah SWT, meningkatkan taraf hidup dan martabat, serta harga diri manusia itu sendiri. Di antara ayat Al-Qur’an yang juga sering disampaikannya sebagai landasan normatif mengenai pentingnya aktivitas kerja, adalah surat al-Jumu’ah (62) ayat 10, yakni:
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Menurut A.M. Fatwa (http://artikel-media.blogspot.com), peran ulama dalam pemberdayaan umat sesungguhnya akan menjadi amal jariah ketika para ulama berhasil memberi landasan dan penjaga moral politik bangsa. Pemberdayaan yang dilakukan oleh para ulama melalui dakwah atau gerakan sosial bisa melahirkan generasi yang mumpuni secara moral bagi seluruh kegiatan masyarakat di berbagai tingkat kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik. Peran ulama tersebut telah dibuktikan dalam sejarah negeri ini, dengan hadirnya para tokoh agama (ulama) yang menjadi perintis perjuangan dan pendorong pembebasan masyarakat dari segala bentuk kebodohan dan keterbelakangan, adalah bukti konkret sumbangsih ulama bagi negeri ini.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberadaan para ulama yang mampu menjembatani beragam kepentingan dalam masyarakat, bukan hanya bagi kelompok atau partai tertentu saja. Hal itu akan terus terpelihara ketika ulama mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang mengayomi, bukan mengadili. Mengayomi terkait dengan kepentingan banyak orang, sedangkan mengadili tertuju pada kepentingan tertentu, dan peran ulama sebagai pandu moral bagi aktifitas masyarakat telah diakui selama ini.
Hal tersebut akan tetap efektif apabila ulama mampu menjadi panutan bagi seluruh umat, ke-istiqamah-an ulama dalam menjalankan fungsinya sebagai pandu moral masyarakat akan menjadi nilai tambah yang dapat menciptakan kenyamanan dan kesejukan dalam kehidupan, sehingga umat akan senantiasa merindukan dan membutuhkan kehadirannya. Selain itu politik dan pembangunan umat, juga merupakan entity atau dua ranah yang membutuhkan peran ulama, hal itu akan terwujud apabila ulama mampu memerankan diri secara proporsional dan universal.
Universalitas peran ulama khususnya di wilayah perdesaan di Kabupaten Ciamis senantiasa berlangsung ketika ulama tidak menyekat dirinya dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepentingan politik. Keterlibatan ulama di perdesaan di Kabupaten Ciamis dalam politik pada kenyataannya telah membuat dirinya terfragmentasi oleh kepentingan partainya sendiri, sehingga wajar bila masyarakat selalu mengaitkan apa yang dikatakan “ulama” tersebut dengan kepentingan politiknya, mereka menyebutnya sebagai “ulama politik” akibat mereka terjun atau sengaja dilibatkan oleh para politisi ke dunia politik praktis, hanya karena dianggap memiliki basis massa potensial di pesantrennya atau di wilayahnya sehingga biasanya ulama hanya sebatas dijadikan vote getter belaka.
Dalam kenyataan bahwa partai politik memang sangat membutuhkan sekali politisi-ulama, begitu pula yang terjadi di beberapa perdesaan di wilayah Kabupaten Ciamis. Demi kepentingan internal partai maka politisi-ulama selalu diposisikan sebagai kader partai yang memiliki kualitas intelektual, yang mumpuni, alim, memiliki basis massa yang kuat, serta memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga mampu mendorong terwujudnya visi dan misi politiknya.
Namun demikian  para ulama di perdesaan yang senantiasa concern dalam pemberdayaan umat secara menyeluruh (tidak terikat untuk kepentingan kelompok atau partai tertentu), dengan sendirinya dapat menjadi kekuatan prophetis (transformatif) bagi dinamika kehidupan, dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral dan spiritual, sehingga fungsi ulama tidak hanya selalu dijadikan sebagai alat legitimasi atas kepentingan kelompok tertentu.
Universalitas dan integritas yang dimiliki kebanyakan para ulama di perdesaan Kabupaten Ciamis, telah mampu menyebabkan kehadirannya sebagai tempat bersimpuh dan mengadu bagi segala kepentingan masyarakat dari berbagai persoalan kehidupan. Ketika ulama di perdesaan telah mampu memerankan hal itu secara efektif, maka sebenarnya tugas pembangunan umat dengan sendirinya telah dijalankannya pula.
Pada berbagai program pemberdayaan yang bersifat parsial, sektoral, maupun bantuan-bantuan hibah (charity) yang pernah berlangsung, terkadang menghadapi berbagai kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat kepada bantuan luar, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan bentuk kapital sosial yang sudah ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan, dan sebagainya). Dengan melemahnya kapital sosial maka pada gilirannya dapat mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan, dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum ekonomi lemah, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, agar lebih berorientasi terhadap masyarakat miskin (pro poor) dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman.
Gambaran lembaga masyarakat seperti di atas hanya akan dicapai apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat merupakan kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas, relawan, dan jujur, serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu yang mudah, karena upaya-upaya membangun kepedulian, kerelawanan, maupun komitmen tersebut pada dasarnya terkait erat dengan proses perubahan perilaku masyarakat, dan biasanya sifat-sifat baik ini lebih banyak melekat pada diri seorang ulama.
Apabila membicarakan tentang peran ulama dalam masyarakat, tidak bisa dipisahkan dari kedudukan sosial ulama itu sendiri dalam sistem sosial masyarakat, karena secara sosiologis peran seseorang dalam suatu kelompok masyarakat sangat tergantung pada kedudukkan atau posisinya dalam kelompok masyarakat itu sendiri. Peran ulama dalam arti perangkat tingkah laku yang diharapkan, dimiliki, dan dilakukan seorang ulama, tentu tidak bisa lepas dari kedudukkan atau posisi ulama selama ini dalam sistem sosial masyarakat, terutama masyarakat perdesaan.
Menurut hadist, kedudukan ulama adalah ahli waris para nabi. Dalam kajian ilmu waris, posisi nabi adalah sebagai pewaris (orang yang mewariskan), sedangkan ahli waris (yang akan menerima waris) adalah para ulama. Adapun sesuatu (harta warisan) yang diwariskan nabi kepada ulama adalah ilmu. Ilmu yang diwariskan nabi kepada para ulama tersebut tidak terbatas pada ilmu tentang eskatologis (tentang ukhrowi), tetapi juga mencakup ilmu tentang keduniawian (profan). Dalam arti yang lebih luas. Sebagai pewaris para nabi, maka ulama adalah orang yang mewarisi ilmu nabi sekaligus mengemban tugas meneruskan misi kenabian (misi prophetik), yaitu membebaskan manusia dari kesesatan keyakinan, kebodohan, ketidakadilan, dan kemiskinan.
YAT ROSPIA BRATA
170130070011
Program Pendidikan Doktor Program Studi Ilmu Sosial
Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi
Universitas Padjadjaran Bandung
E-MAIL : yatrospia@gmail.com


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terkesan ulama di sini dlm lingkup idealis dan posisi elitis. Belum tampak dlm dimensi realis. Dlm antropologi, selain pendekatan etik, juga ada pendekatan emik.

Adi N