Senin, 08 Desember 2014

KAMPUNG NAGA

1. Sejarah Kampung Naga
Sejenak mungkin terlintas dalam pikiran kita, barangkali ketika mendengar nama Kampung Naga. Ternyata bentuk asli dari kampung tersebut sangat berbeda dengan namanya, dan gambaran kita tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga yang berada di sana. Nama Kampung Naga tu sendiri ternyata merupakan suatu singkatan kata dari Kampung diNa Gawir ( red. bahasa sunda ) yang artinya adalah merupakan kampung yang berada di lembah yang subur. Kampung Naga adalah  sebuah kampung kecil, yang para penduduknya patuh dan menjaga tradisi yang ada, hal inilah yang membuat kampung ini unik dan berbeda dengan yang lain. Tak salah jika kampung ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut dilestarikan.
Nenek moyang Kampung Naga Sendiri konon adalah Eyang Singaparna yang makamnya sendiri terletak di sebuah hutan di sebelah barat Kampung Naga. Yang membuat Kampung Naga ini unik adalah karena penduduk ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun. Kepatuhan warga Sanaga ( red. Warga asli kampung Naga ) dalam mempertahankan upacara – upacara adat, termasuk juga pola hidup mereka yang tetap selaras dengan adapt leluhurnya seperti dalam hal religi da upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dan tata cara leluhurnya.
Masyarakat Kampung Naga memilki tempat-tempat larangan yaitu : 2 hutan larangan, sebelah Timur dan Barat, tempat ini tidak boleh dimasuki oleh seorangpun kecuali pada waktu upacara atau berziarah. Ada satu buah bangunan yang dianggap keramat yaitu “Bumi Ageung” yaitu tempat pelaksanaan rutinitas upacara adat, tempat ini tidak boleh dimasuki kecuali oleh Ketua Adat atau Kuncen.
Hari yang diagungkan masyarakat Kampung Naga diantaranya hari Selasa, Rabu dan Sabtu.Pada hari itu masyarakat dilarang untuk menceritakan asal usul atau sejarah mengenai Kampung Naga dan  pada bulan Syafar tidak boleh melaksanakan upacara adat atau berziarah. Dalam pembangunan rumah-rumah diatur sedemikian rupa yaitu dengan membujur Timur Barat menghadap ke Selatan, setiap rumah harus saling berhadapan untuk menjaga kerukunan antar warga. Praktek pembangunannya pun mempunyai wawasan lingkungan yang futuristik, baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun budaya.

2. Letak Geografis Kampung Naga
Kampung Naga secara administratife berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang bermata air dari Gunung Cikuray.

3. Peralatan Hidup Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang masih menggunakan peralatan ataupun perlengakpan hidup yang sederhana, non teknologi yang kesemua bahannya tersedia di alam. Seperti untuk memasak, masyarakat Sanaga menggunakan tungku dengan bahan bakar menggunakan kayu bakar dan untuk membajak sawah mereka tidak menggunkan traktor melainkan menggunakan cangkul. Dan masih banyak hal lainnya, yang pasti masayarakat Sanaga tidak menggunakan peralatan canggih berteknologi tinggi, dan kampung mereka pun tidak ada listrik.

4. Sistem Perekonomian Masyarakat Kampung Naga
Dalam sistem perekonomian kami fokuskan kepada mata pencaharian dimana mata pencaharian warga Kampung Naga bermacam-macam mulai dari pokok yaitu bertani, menanam padi sedangkan mata pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak dan berdagang.

5. Sistem Kemasyarakatan Kampung Naga
Kemasyarakatan di Kampung Naga masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.
Lebih jauh menilik pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga, kita akan mendapatkan dua pemimpin dengan tugasnya masing –masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang Kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal adapt istiadat jika berhubungan dengan system pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW haruslah taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adapt istiadat dan kehidupan rohani penduduk Kampung Naga.
Lembaga Pemerintahan di Kampung Naga
Sistem kemasyarakatan disini lebih terfokus kepada sistem atau lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di Kampung Naga. Ada dua lembaga yaitu :
Lembaga Pemerintahan
RT
RK / RW
Kudus ( Kepala Dusun )
Lembaga Adat
Kuncen dijabat oleh Bapak Ade Suherlin yang bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam berziarah.
Punduh dijabat oleh Bapak Ma’mun
Lebe dijabat oleh Bapak Ateng yang bertugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam.

6. Sistem Bahasa di Kampung Naga
Dalam berkomunikasi warga Kampung Naga mayoritas menggunakan bahasa Sunda Asli, hanya sebagian orang dalam arti yang duduk di pemerintahan. Adapula yang bisa berbahasa Indonesia itupun hanya digunakan apabila bercakap – cakap dengan wisatawan dari luar jawa barat.

7. Sistem Pendidikan ( Ilmu Pengetahuan ) di Kampung Naga
Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula.

8. Sistem Kepercayaan ( Religi ) Kampung Naga
Penduduk Kampung Naga Mengaku mayoritas adalah pemeluk agama islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka. Masyarakat Sanaga pun masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat – tempat tertentu yang dianggap angker.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga
Adapun upacara – upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Sanaga yang bertepatan dengan hari besar Islam yaitu :
    Bulan Muharam untuk menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah
    Bulan Maulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
    Bulan Jumadil Akhir untuk memperingati pertengahan bulan Hijriah
    Bulan Nisfu Sya’ban untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan
    Bulan Syawal untuk menyambut datangnya Idul Fitri
    Bulan Zulhijah untuk menyambut datangnya Idul Adha

9. Kesenian di Kampung Naga

Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.
Terdapat tiga pasangan kesenian di Kampung Naga diantaranya :
    Terebang Gembrung yang dimainkan oleh dua orang sampai tidak terbatas biasanya ini dilaksanakan pada waktu Takbiran Idul Fitri dan Idul Adha serta kemerdekaan RI. Alat ini terbuat dari kayu.
    Terebang Sejat, dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan atau khitanan massal.
    Angklung, dimainkan oleh 15 orang dan dilaksanakan pada waktu khitanan massal

10. Sistem Bangunan /Arsitek di Kampung Naga
Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi (Leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.

11. Sistem Politik di Kampung Naga

Dalam sistem politik di tekankan pada penyelesaian masalah di pimpin oleh  ketua adat yaitu dengan cara bermusyawarah untuk mufakat dimana hasi yang diperoleh adalah merupakan hasil mufakat yang demokratis dan terbuka.

12. Sistem Hukum di Kampung Naga
Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat Sanaga juga memiliki aturan hukum sendiri yang  tak tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memang memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah Larangan, Wasiat dan Akibat.
Sistem hukum di kampung Naga hanya berlandaskan kepada kata pamali, yakni sesuatu ketentuan yang telah di tentukan oleh nenek moyang Kampung Naga yang tidak boleh di langgar. Sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan tidaklah jelas, mungkin hanyalah berupa teguran, karena masyarakat Sanaga memegang prinsip bahwa siapa yang melakukan pelanggaran maka dia sendiri yang akan menerima akibatnya.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: